Pandangan Social
pada Puisi Dialog Bukit Kemboja Karya D. Zawawi Imron
pada Puisi Dialog Bukit Kemboja Karya D. Zawawi Imron
Membaca puisi-puisi D. Zawawi Imron sama seperti
membaca alam dan budaya bangsa Indonesia, utamanya alam dan kebudayaan Madura.
Siapa yang sanggup menjelaskan bahwa penyair yang sangat produktif dalam dunia
kesusastraan ini hanyalah orang kampung yang bahkan tidak pernah bergaul dengan
dunia intelektual, apalagi bersentuhan dengan wacana dan kebudayaan asing.
Menakjubkan memang, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi nyatanya
sanggup menghasilkan puluhan puisi indah. di tahun 1995, sajaknya Dialog Bukit
Kamboja keluar sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Nasional Menulis Puisi
50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan oleh salah satu stasiun swasta. D. Zawawi Imron menjadi
penulis kolom di beberapa media masa dan mejadi penyaji seminar masalah sastra,
agama, dan kebudayaan. Selain itu, beliau jauga pernah mengajar di beberapa
perguruan tinggi di Madura serta ikut menulis skenario Indonesia Masa Depan.
Beliau juga sering menghadiri pembacaan puisi di berbagai Negara, antara
lain di Singapura, Malaysia, dan Belanda.
Penulis tertarik menganalisis puisi Dialog Bukit Kamboja karya D,
Zawawi Imron, Karena secara menyeluruh sajak yang berada dalam kumpulan puisi
puisi Dialog Bukit Kemboja kaya akan pandangan sosial, selain itu puisi karya
D. Zawawi Imron menimbulkan keingin tahuan para
pembaca untuk meneliti sajak-sajak dalam kumpulan puisi
“Dialog Bukit Kemboja.”
Keindahan
kata-kata alam yang dijalin Zawawi dalam puisinya terasa lebih istimewa tatkala
butiran kata itu disibak satu-persatu untuk menemukan kata yang tersembunyi
dalam kata lain. Dengan artian, puisi Zawawi bukan hanya sekedar menghadirkan
nuansa sejarah namun juga mengandung pesan-pesan kehidupan yang disamarkan,
termasuk di dalamnya kumpulan puisi Dialog Bukit Kemboja. Pesan-pesan kehidupan
itu tidak nampak memang, tertutup oleh indahnya jalinan kata, namun setidaknya
Zawawi telah memberi bocoran bahwa Dialog Bukit Kemboja ini memang mengandung
pesan-pesan dalam kehidupan.
Pada
bait kedua terdapat kalimat
“Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum
cemburu
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu”
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu”
Dalam
kutipan itu terungkap bahwa seorang pemuda bertemu dengan seorang nenek yang
melihatnya berdoa di makam ayahnya
“Lewat
berpuluh kemarau telah kuberikan kubur didepan mu
Karena kuanggap kubur anakku”
Karena kuanggap kubur anakku”
Lalu
nenek itu mengatakan bahwa sudah lama nenek itulah yang merawat kubur ayahnya
yang dianggap sebagai kubur anak dari nenek itu
“Anakku
mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Nenek
tersebut mengatakan bahwa anaknya telah meninggal di medan tempur saat berjuang
melawan penjajah. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran radio, Bung
Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo. Pertempuran
yang memakan korban banyak dari pihak bangsa Indonesia
ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tanggal
10 November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia
yang berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya
sekaligus mencerminkan tekad perjuangan seluruh
bangsa Indonesia.
“Aku
telah lelah mencari kuburnya dari sana kemana
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyamaian terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyamaian terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
Terlihat
dari ucapan sang nenek yang telah lelah
mencari kuburan anaknya yang tak pernah ketemu sampai sekarang, nenek hanya ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada anaknya, karena sang nenek tak menemukan
kuburan anakya maka kuburan ayah pemuda itu dianggap sebagai kuburan anaknya.
“Tapi
ayahku sepi Pahlawan
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
Pemuda
tersebut mengatakan bahwa itu tetap ayahnya dan bukan anak dari nenek itu.
“Apa
salahnya kalau sesekali
Kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”
Kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”
Nenek
itu mengatakan bahwa apa salahnya jika sesekali makam ayahnya dijadikan sebagai
alamat rindu untuk anaknya dengan ziarah dengan harum bunga kemboja maka dendam
nenek tersebut terhadap musuh jadi gugur.
“Hormatku
padamu, nenek ! karena engkau
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”
Lalu
pemuda itu memberi hormat kepada nenek yang ditemuinya karena nenek tersebut menyimpan
rahasia harum tanahya, dan pemuda tersebut meminta senjata kepada nenek.
“Aku orang tak
bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta.
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu”
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu”
Karena
nenek tak bisa memberi dan nenek hanya bisa mengatakan jika dia kamu adalah bambu
runcing yang bermaksud jadi pemuda yang bisa berdiri tegak sepertin bambu.
Pandangan
sosialnya terdapat bahwa kita harus tetap menghormati serta mengenang jasa pahlawan
yang telah gugur, dan sebagai generasi selanjutnya dimana setiap tanggal 10
November diadakan hari pahlawan yang bertujuan untuk mengingatnya.
Dari puisi Dialog Bukit
Kemboja itu terasa harapan Zawawi supaya ciptaannya (kumpulan
puisi) ini dapat diterima oleh masyarakat dan pesan-pesan kehidupan di dalamnya
dapat dijadikan energi positif untuk melawan tindak kejahatan sesuai dengan
hakikat kebenaran.
Mungkin
untuk mengenali lebih mendalam kehebatan kumpulan puisi ini, hingga disebut
sebagai kumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
tahun 1990, membutuhkan banyak pendekatan dan banyak penafsiran dari
masing-masing puisi yang dituliskan.
Nailatul Mafazah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar